SeputarIndonesia.tv || Surabaya - Permasalahan ketahanan pangan di kota-kota besar seperti Surabaya masih sangat menjadi fokus perhatian yang harus ditangani oleh multisektor, salah satunya dari akademisi. Seperti di wilayah Surabaya bagian barat yang padat penduduk, yakni Kampoeng Oase Songo RT 09/RW 03 Kelurahan Simomulyo Baru, Kecamatan Sukomanunggal, yang menjadi tempat berjalannya program Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) sejak Juni 2024 lalu, telah melangsungkan kegiatan Budidaya Ikan dalam Ember (Budikdamber) menggunakan ikan lele yang kini siap dipanen hasilnya.
PKM UWKS di Kampoeng Oase Songo Surabaya ini, dimulai Juni hingga Desember 2024. Program tersebut didanai oleh Direktorat Riset, Teknologi dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI).
Adapun dosen UWKS yang menjadi tim PKM di Kampoeng Oase Songo Surabaya ini ialah, Freshinta Jellia Wibisono sebagai Ketua Tim Pengusul, dan dua dosen lainnya sebagai anggota yakni, Santirianingrum Soebandhi, dan Masfufatun.
Dalam keterangannya, sebagai Ketua Tim Pengusul PKM UWKS di Kampoeng Oase Songo Surabaya, Freshinta menjelaskan, kegiatan panen ikan lele dengan cara Budikdamber ini menjadi simbolis penutupan program PKM atau Pengabdian Kepada Masyarakat UWKS untuk mewujudkan upaya ketahanan pangan dan peningkatan pendapatan ekonomi.
"Alhamdulillah saat ini, kita panen ikan lele, sebagai tanda kegiatan closing untuk pengabdian kepada masyarakat di Kampoeng Oase Songo. Walaupun sebelumnya itu kita pernah gagal panen, kemudian kita bangkit lagi, kemudian kita isi lagi. Dari situ Alhamdulillah kita bisa melakukan penutupan itu dengan panen bersama ikan lele," jelasnya, Minggu (24/11/2024).
Dosen UWKS yang kerap disapa Shinta ini menerangkan, kendala Budikdamber ikan lele ini berasal dari berbagai faktor yang menyebabkan gagal panen atau ikan-ikan lele yang dibudidayakan mati. Kematian budidaya ikan lele pertama belangsung pada awal-awal bulan pertama, sampai bulan kedua yang menemukan ada beberapa hal perlu evaluasi.
"Nah ternyata disitu ada banyak kadar amonianya terlalu tinggi, kenapa kadar amonia terlalu tinggi? Yang pertama bisa disebabkan karena adanya sisa pakan yang terlalu banyak. Kalau pakan sisa terlalu banyak akibat pemberian pakan ikannya itu kebanyakan, itu pasti akan membuat amonianya semakin banyak," ungkap Shinta.
Selain pemberian pakan ikan lele yang berlebihan, Shinta menyebutkan, ada faktor lain yang sebenarnya juga bisa mengakibatkan terjadinya gagal panen, yakni faktor lingkungan yang menyebabkan ikan lele menjadi stres.
"Faktor lingkungan juga berpengaruh, terutama anak kecil gitu ya. Lokasi Budikdamber ini kan di pinggir jalan kampung yang dilewati banyak orang termasuk anak kecil itu yang tertarik dengan lele. Mereka ingin melihat, kemudian memegang dan seterusnya. Dan itu pasti membuat stres ikan lele itu cukup tinggi. Nah, itulah yang menjadikan banyak lelenya mengalami kematian masal," ucap Shinta.
Shinta menilai, faktor lain yang menyebabkan gagal panen ikan lele pada Budikdamber ini ialah cuaca. Perubahan cuaca, menurutnya juga bisa menyebabkan ikan-ikan stres sehingga terjadi kematian masal.
Ia memaparkan, waktu kematian ikan-ikan lele itu terjadi setelah tiga hari cuaca panas melanda wilayah Kota Surabaya terutama Kampoeng Oase Songo.
"Waktu itu kan sempat ada satu minggu yang katanya Surabaya itu kayak terbakar gitu ya, nah itu tiga hari setelah itu terjadi kematian. Nah, bisa jadi karena hit stres tadi, karena panas, kemudian tadi karena kadar amonianya yang tinggi, kemudian ada stres dari gangguan, itu seperti kumpulan yang harus kita evaluasi bagaimana ke depannya supaya tidak terjadi kematian," papar Shinta.
Tanda-tanda akan terjadi kematian masal pada ikan lele, Shinta menuturkan, ikan-ikan akan memposisikan diri mereka berdiri seperti melakukan upacara karena beberapa waktu setelah itu pasti ikan-ikan mati.
Oleh karena itu, untuk mengatasi tanda-tanda kematian masal, Shinta menuturkan, solusinya yakni melakukan pengurasan rutin pada ember tempat Budikdamber. Dengan penggantian air yang telah dikuras, menyebabkan sirkulasi air menjadi bersih dan tidak menyebabkan ikan-ikan menjadi stres.
"Sirkulasinya kita ganti, airnya kita kuras, kemudian kita ganti yang baru tapi tentunya dengan air mengalir dari selang, kenapa? Agar oksigennya tadi lebih banyak," tutur Shinta.
Hasil panen ikan lele, Shinta menyampaikan, tiap panen bisa menghasilkan seberat 8 kilogram yang berisi 10 ikan lele. Dan kalau hasilnya tersebut dijual belikan, targetnya bukan menyaingi harga pasar karena memiliki keunggulan yang berbeda dengan kualitas pada umumnya. Ia menuturkan, diharapkan hasil dari panen ikan lele ini bisa mewujudkan ketahanan pangan dari upaya budidaya mandiri warga kampung.
"Keunggulan yang utama adalah ketahanan pangan warga, jadi yang kita harapkan warga di sini itu bisa mendapatkan protein ataupun pangan yang dibudidayakan sendiri, seperti jargonnya kan 'Tanam yang Kita Makan, Makan yang Kita Tanam'. Tentu saja, lele di sini, lele yang bebas, pestisi bebas lain-lain, karena kita tahu mulai dari kecil sampai panen itu kita tidak menggunakan bahan pestisida yang macam-macam," tutur Shinta.
Sementara itu, Ketua Kampoeng Oase Songo Surabaya, Yaning Mustika Ningrum menyampaikan, sebagai ketua, yang memimpin kampung, pihaknya merasa bersyukur dan bahagia karena bisa memanen hasil budidaya ikan melalui Budikdamber.
"Rasanya bahagia sekali, karena sejak kegagalan itu kita pesimis, akhirnya ini kita bisa panen. Kemudian, seperti kata Ibu Dr. Freshinta bahwa kami akan melanjutkan program ini, walaupun Ibu sudah tidak mendampingi kami, apapun yang terjadi kami akan melanjutkan. Yang terpenting adalah satu ketahanan pangan di sini bisa terlaksana dengan baik, kami dapat membantu warga kami," jelas Yaning.
Hasil panen ikan lele dengan Budikdamber ini, Yaning membeberkan, akan dijual lebih murah dari harga pasaran. Dan dari hasil penjualan tersebut, akan digunakan untuk pembelian bibit ikan lele kembali untuk terus dilakukan sehingga ketahanan pangan dan peningkatan pendapatan ekonomi dapat terlaksana secara terus menerus.
"Ya pasti, ketahanan pangan, ketahanan ekonomi itu bisa terus terwujud. Ya semoga nanti ketahanan pangan kami lebih banyak lagi. Tapi karena kita ini bukan peternak, bukan petani, jadi terus belajar dan tidak boleh berhenti. Apabila gagal dimulai lagi, sampai kita berhasil," ucap Yaning.
Di sisi lain, Pembina Kampoeng Oase Songo Surabaya, Adi Candra mengatakan, meski awal-awal budidaya ikan lele dengan metode Budikdamber ini gagal, namun berkat penanganan yang cepat sehingga ditemukan penyebab gagal panen berupa kematian masal adalah tingginya kadar amonia. Lalu, muncullah solusi supaya mengganti air Budikdamber secara rutin.
"Kita melakukan modifikasi di embernya itu memasang bagian bawahnya dengan keran. Jadi kita tinggal buka saja, kita tidak perlu menguras itu dari atas, sehingga endapan yang selalu ada di bawah yang dicurigai banyak ammonia itu bisa kita keluarkan langsung melalui kran itu," ujar Adi.
Adi menyampaikan, pihaknya sangat mengapresiasi masyarakat warga Kampoeng Oase Songo atas kepedulian dan kekompakan yang sudah mulai terasa. Artinya ketika ada satu problem atau masalah, mereka sigap sehingga cepat untuk menerima masukan dan melakukan perbaikan.
"Kami juga berterima kasih atas dukungan dari Perguruan Tinggi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya melalui program PKM-nya. Kami berharap dengan adanya peningkatan program ketahanan pangan ini, secara langsung juga akan berpengaruh terhadap dorongan sirkuler ekonomi yang berkelanjutan. Jadi dari pengelolaan lingkungan, dari isu ketahanan pangan yang disolusikan melalui urban farming, itu mampu mendorong sirkuler ekonomi yang berkelanjutan bagi tercapainya target pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals," pungkasnya.
Sebagai informasi, PKM UWKS di Kampoeng Oase Songo ini juga melibatkan para mahasiswa dan mahasiswinya untuk turut menjalankan upaya ketahanan pangan. Mahasiswa dan mahasiswi tersebut meliputi, Miftahul Habibi, Azmi Khalid Amrulloh, Wisnu Prayoga, Ibra Zullian Khairi, Ulfa Rafika Kusumaningsih, Hidayatul Putri Syafrita, Aida Aulia Rahmasari, dan Aulia Nur Laily. Selain itu, ada pula mahasiswa program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) Batch 7, bernama Aflakhul Muzakka, dari Universitas Trunojoyo, yang turut membantu branding and marketing Eduwisata Pertanian Perkotaan.
Editor : Red
COMMENTS